KAPITALISME MERENGGUT ALAT VITAL NEGARA, YAKNI PENDIDIKAN
Oleh: Adhar Malaka
--------------------------------------------------
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Suatu pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan bermoral.
Orang-orang yang kompeten dalam bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Sebaliknya, kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Pada kenyataan kita telah dipaksa belenggu oleh sistim yang jijih, sistim pendidikan kapitalisme.
Sebaiknya kita terlebih dulu memahami pengertian Kapitalisme Pendidikan.
Menurut kautsar kapitalisme adalah paham yang menyatakan bahwa tidak ada pembatasan dari negara bagi warga negaranya guna memiliki property pribadi sehingga dimungkinkan terjadinya akumulasi modal pada perorangan (bisa individu ataupun korporasi) sehingga diharapkan kesejahteraan orang tersebut dapat meningkat. Untuk mewujudkan adanya kapitalisme maka diperlukan adanya lliberalisme. Liberalisme adalah paham yang menyatakan bahwa negara tidak boleh ikut campur tangan dalam berbagai sendi kehidupan warga negaranya, sehingga negara hanya dibatasi kepada menjaga ketertiban umum dan penegakan hukum. Untuk urusan yang lain diserahkan kepada masyarakat sendiri untuk mengaturnya.
Sistem pendidikan (kapitalisme) yang sudah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebuah “bank” (banking concept of Education). Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan, kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Maka, pelajar di beri ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Dan anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositornya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarakan kepada anak didik. Anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid. Seperti yang disusun Paulo freire dalam 10 daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:.
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru berbicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyusuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Oleh karena guru menjadi pusat segalanya. Maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengindentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan ”biofili”.
Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah “realiatas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggatikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya sama saja, bahkan lebih buruk.
•SADAR
Sadar bahwa pendidikan secara kasat mata yang kita temui setiap harinya ini adalah upaya penindasan yang dilancarkan oleh imperealisme dan seluruh kompradornya untuk melanggengkan kekuasaan. Maka jangan heran jika pembaca merefleksi kembali atau menjadi saksi atas realitas bahwa melalui sistem pendidikan kapitalistik itu generasi ke genarasi lenyap dalam tatanan yang diatur si penguasa.
Seharusnya pendidkan menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya, seperti yang dikatakan Paolu Freire dalam filsafat formulasi pendidikannya sendiri “Pendidikan kaum tertindas”. Penulis akan coba mengajak pembaca untuk merenungkan realitas kelam, massif dan masih berlangsung terjadi di Bangsa dan Negara (Indonesia) yang kita cintai ini. Demikan seharunya kita sadar untuk bergegas mengambil sikap.!
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya, sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberagaman tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
• PIKIR
Berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam suasana yang dialogis, maka setidaknya ada upaya solutif yang konkret dan progresif. Kita harus berpikir keras, praktek seperti ini sudah menghina hakekat manusia diciptakan. Praktek yang tidak memanusiakan manusia (dehumanisasi) oleh imperealisme, kapitalisme, neo liberalisme yang tersebar bebas di Bumi Pertiwi. Jadi, kita benar-benar dituntun untuk memikirkan nasib Bangsa ini. Maka, dengan demikian kita akan paham atau mengenali apa yang sesungguhnya yang ingin dicapai. Karna sesungguhnya kemampuan adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin bagi kita.
•Bertindak
Bertindak harus yang bukan sesaat dan memungkinkan. Tindakan efektif yang dapat dipakai guna memecahkan permasalahan Bangsa hari ini dari serangan kapitalisme dan kawan-kawan. Oleh karena itu, kita perlu mengkaji seberapa besar tingkat signifikansi tindakan yang kita ambil.
LAWAN!!!
Oleh: Adhar Malaka
--------------------------------------------------
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Suatu pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan bermoral.
Orang-orang yang kompeten dalam bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Sebaliknya, kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Pada kenyataan kita telah dipaksa belenggu oleh sistim yang jijih, sistim pendidikan kapitalisme.
Sebaiknya kita terlebih dulu memahami pengertian Kapitalisme Pendidikan.
Menurut kautsar kapitalisme adalah paham yang menyatakan bahwa tidak ada pembatasan dari negara bagi warga negaranya guna memiliki property pribadi sehingga dimungkinkan terjadinya akumulasi modal pada perorangan (bisa individu ataupun korporasi) sehingga diharapkan kesejahteraan orang tersebut dapat meningkat. Untuk mewujudkan adanya kapitalisme maka diperlukan adanya lliberalisme. Liberalisme adalah paham yang menyatakan bahwa negara tidak boleh ikut campur tangan dalam berbagai sendi kehidupan warga negaranya, sehingga negara hanya dibatasi kepada menjaga ketertiban umum dan penegakan hukum. Untuk urusan yang lain diserahkan kepada masyarakat sendiri untuk mengaturnya.
Sistem pendidikan (kapitalisme) yang sudah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebuah “bank” (banking concept of Education). Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan, kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Maka, pelajar di beri ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Dan anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositornya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarakan kepada anak didik. Anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid. Seperti yang disusun Paulo freire dalam 10 daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:.
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru berbicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyusuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Oleh karena guru menjadi pusat segalanya. Maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengindentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan ”biofili”.
Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah “realiatas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggatikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya sama saja, bahkan lebih buruk.
•SADAR
Sadar bahwa pendidikan secara kasat mata yang kita temui setiap harinya ini adalah upaya penindasan yang dilancarkan oleh imperealisme dan seluruh kompradornya untuk melanggengkan kekuasaan. Maka jangan heran jika pembaca merefleksi kembali atau menjadi saksi atas realitas bahwa melalui sistem pendidikan kapitalistik itu generasi ke genarasi lenyap dalam tatanan yang diatur si penguasa.
Seharusnya pendidkan menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya, seperti yang dikatakan Paolu Freire dalam filsafat formulasi pendidikannya sendiri “Pendidikan kaum tertindas”. Penulis akan coba mengajak pembaca untuk merenungkan realitas kelam, massif dan masih berlangsung terjadi di Bangsa dan Negara (Indonesia) yang kita cintai ini. Demikan seharunya kita sadar untuk bergegas mengambil sikap.!
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya, sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberagaman tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
• PIKIR
Berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam suasana yang dialogis, maka setidaknya ada upaya solutif yang konkret dan progresif. Kita harus berpikir keras, praktek seperti ini sudah menghina hakekat manusia diciptakan. Praktek yang tidak memanusiakan manusia (dehumanisasi) oleh imperealisme, kapitalisme, neo liberalisme yang tersebar bebas di Bumi Pertiwi. Jadi, kita benar-benar dituntun untuk memikirkan nasib Bangsa ini. Maka, dengan demikian kita akan paham atau mengenali apa yang sesungguhnya yang ingin dicapai. Karna sesungguhnya kemampuan adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin bagi kita.
•Bertindak
Bertindak harus yang bukan sesaat dan memungkinkan. Tindakan efektif yang dapat dipakai guna memecahkan permasalahan Bangsa hari ini dari serangan kapitalisme dan kawan-kawan. Oleh karena itu, kita perlu mengkaji seberapa besar tingkat signifikansi tindakan yang kita ambil.
LAWAN!!!
Komentar
Posting Komentar