HILANGNYA ESENSI PENDIDIKAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA
(Komersialisasi Pendidikan)
Bangsa, menurut Ernest Renan, pemikir dari Perancis, adalah sebuah identitas superior yang mengendap dari kesamaan nasib dan cita-cita sekelompok orang, beserta visi masa depan yang dicanangkan bersama.
untuk mempertahankan keberadaan sebuah negara-bangsa di tengah arus globalisasi, identitas yang jelas menjadi sebuah keharusan, termasuk dalam hal identitas kebudayaan. Ya, sebagai sebuah negara-bangsa, seharusnya kita memiliki rumusan kebudayaan yang membuat kita bisa dibedakan dari negara-bangsa lainnya, yang bisa kita katakan sebagai jatidiri bangsa. Jatidiri bangsa ini, tentu saja bukan untuk membuat kita terpisah dari negara-bangsa lain, tetapi untuk membuat kita bisa melangkah dengan mantap ke depan, membentuk takdir dan masa depan kita sendiri. Kebutuhan akan jatidiri ini, bisa dianalogikan dengan kehidupan individu: tanpa jatidiri yang kukuh, tanpa penghayatan akan identitasnya sendiri yang otentik, seorang individu tak akan bisa bergerak ke mana-mana, kecuali mengikuti arus yang bisa jadi tak sesuai untuknya.
Namun, realitanya terbalik 180 derajat dari roh dan cita-cita bangsa. Ini akibat pembiaran kesadaran dan tidak berdayanya generasi dalam menyikapi jajahan kapitalisme dan antek-anteknya yang tersebar bebas dan masif di negeri ini. Pendidikan dijadikan barang jasa dan diperdagangkan (komersialisasi pendidikan).
The FoundingFather (Bung Karno) dengan lantang menyampaikan dalam pidatonya terhadap penyelegaraan pendidikan secara horizontal di negeri ini, "Dalam rangka membangun Negara Sosialis Indonesia tidak dibenarkan adanya Otonomi 100% untuk perguruan tinggi- perguruan tinggi,”
Kenyataannya situasi sekarang justru berbeda. Penyelenggaraan pendidikan nasional, terutama di perguruan tinggi, mulai mengarah pada otonomi. Sebagai konsekuensi dari otonomi ini, termasuk dalam penggalian dana, Universitas harus mencari sendiri sumber-sumber pembiayaannya. Sementara dalam mencari sumber pembiayaan, pihak universitas biasanya hanya punya dua jalan: membuka pintu kepada pihak swasta dan menjual (komoditi) pendidikan itu lebih mahal kepada peserta didik.
Ya....
Saya sepakat, Indonesia adalah bangsa yang menganut sosialis, sebagai konsepsi representatif kamajemukan bangsa Indonesia. Iya, sosialis ala Indonesia, yang tidak membeda-bedakan SARA, kelas dan HAK.
Pernyataan Bung Karno di atas ada benarnya, sebagaimana juga digariskan oleh konstitusi, bahwa negara tidak boleh melepaskan tanggung-jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata “mencerdaskan bangsa” ini punya pengertian: penyelenggaraan pendidikan tidak boleh hanya mencerdaskan segolongan atau segelintir orang, tetapi penyelenggaraan pendidikan harus mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia.
Sosialisme indonesia seperti yang dicita-citakan bung Karno adalah satu tatanan masyarakat yang anti kapitalisme, anti feodalisme, anti kolonialisme dan imperialisme, anti militerisme dan fasisme. Kesenjangan antara kaum kaya dengan kaum miskin tidak terlalu lebar. Masyarakat tidak bergaya hidup konsumtif, menolak hedonisme. Mereka siap bekerja keras hidup hemat dan sederhana, rukun dalam gotong royong, dan menjunjung etika budaya bangsa yang bernilai luhur.
Kita kembali melihat pendidikan sebagai sarana mempertahankan jati diri bangsa yang hilang esensinya.
Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Perlu diketahui banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan membuka yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “mendapatkan keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.
Prinsip nirlaba mestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan bahwa kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dewasa ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan diIndonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yangdapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas utama yangdapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi.
Oleh kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia, kedua jalan itu dilakukan secara bersamaan: mengundang swasta dan mengkomersilkan pendidikan. Dalam sepuluh tahun terakhir, peranan swasta semakin terasa kehadirannya di dalam kehidupan universitas: supermarket mulai berdiri di kampus (menggantikan koperasi mahasiswa), pusat kegiatan mahasiswa mulai disewakan, kehadiran pengusaha di majelis wali amanat, dan lain-lain.
Bersamaan dengan itu, biaya pendidikan juga terus meroket naik, bahkan seolah-olah sejumlah kampus favorit berlomba-lomba menaikkan biaya masuknya untuk menunjukkan gengsinya. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta.
Komersialisasi sudah di depan mata. Jika tidak segera dilawan, maka ratusan juta generasi muda Indonesia ke depan tidak akan punya kesempatan untuk menikmati pendidikan di bangku universitas. Oleh karena itu, karena kita tidak bisa berharap kepada rejim neoliberal untuk menghentikan komersialisasi ini, maka gerakan mahasiswalah yang mestinya menyusun barisan perlawanan. Mari berjuang untuk mewujudkan pendidikan sebagaimana digariskan preambule UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika tidak segera, maka.....
Dampaknya, indonesia akan miskin, rusak lingkungan alamnya, kekayaan alamnya dijarah kekuatan asing, dan rakyatnya terpuruk dalam kemelaratan, keterbelakangan, dekadensi moral, perpecahan antar suku agama dan golongan.
Hal ini kecedaraan serius yang dialamai negeri ini.
Kemudian,
Bagaimana sikap para intelek yang sadar dan jujur dalam perjuangannya ??
#Wait, MAYDAY
Adhar Malaka
Ketum KOSNAPI INDONESIA
Semarang
(Komersialisasi Pendidikan)
Bangsa, menurut Ernest Renan, pemikir dari Perancis, adalah sebuah identitas superior yang mengendap dari kesamaan nasib dan cita-cita sekelompok orang, beserta visi masa depan yang dicanangkan bersama.
untuk mempertahankan keberadaan sebuah negara-bangsa di tengah arus globalisasi, identitas yang jelas menjadi sebuah keharusan, termasuk dalam hal identitas kebudayaan. Ya, sebagai sebuah negara-bangsa, seharusnya kita memiliki rumusan kebudayaan yang membuat kita bisa dibedakan dari negara-bangsa lainnya, yang bisa kita katakan sebagai jatidiri bangsa. Jatidiri bangsa ini, tentu saja bukan untuk membuat kita terpisah dari negara-bangsa lain, tetapi untuk membuat kita bisa melangkah dengan mantap ke depan, membentuk takdir dan masa depan kita sendiri. Kebutuhan akan jatidiri ini, bisa dianalogikan dengan kehidupan individu: tanpa jatidiri yang kukuh, tanpa penghayatan akan identitasnya sendiri yang otentik, seorang individu tak akan bisa bergerak ke mana-mana, kecuali mengikuti arus yang bisa jadi tak sesuai untuknya.
Namun, realitanya terbalik 180 derajat dari roh dan cita-cita bangsa. Ini akibat pembiaran kesadaran dan tidak berdayanya generasi dalam menyikapi jajahan kapitalisme dan antek-anteknya yang tersebar bebas dan masif di negeri ini. Pendidikan dijadikan barang jasa dan diperdagangkan (komersialisasi pendidikan).
The FoundingFather (Bung Karno) dengan lantang menyampaikan dalam pidatonya terhadap penyelegaraan pendidikan secara horizontal di negeri ini, "Dalam rangka membangun Negara Sosialis Indonesia tidak dibenarkan adanya Otonomi 100% untuk perguruan tinggi- perguruan tinggi,”
Kenyataannya situasi sekarang justru berbeda. Penyelenggaraan pendidikan nasional, terutama di perguruan tinggi, mulai mengarah pada otonomi. Sebagai konsekuensi dari otonomi ini, termasuk dalam penggalian dana, Universitas harus mencari sendiri sumber-sumber pembiayaannya. Sementara dalam mencari sumber pembiayaan, pihak universitas biasanya hanya punya dua jalan: membuka pintu kepada pihak swasta dan menjual (komoditi) pendidikan itu lebih mahal kepada peserta didik.
Ya....
Saya sepakat, Indonesia adalah bangsa yang menganut sosialis, sebagai konsepsi representatif kamajemukan bangsa Indonesia. Iya, sosialis ala Indonesia, yang tidak membeda-bedakan SARA, kelas dan HAK.
Pernyataan Bung Karno di atas ada benarnya, sebagaimana juga digariskan oleh konstitusi, bahwa negara tidak boleh melepaskan tanggung-jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata “mencerdaskan bangsa” ini punya pengertian: penyelenggaraan pendidikan tidak boleh hanya mencerdaskan segolongan atau segelintir orang, tetapi penyelenggaraan pendidikan harus mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia.
Sosialisme indonesia seperti yang dicita-citakan bung Karno adalah satu tatanan masyarakat yang anti kapitalisme, anti feodalisme, anti kolonialisme dan imperialisme, anti militerisme dan fasisme. Kesenjangan antara kaum kaya dengan kaum miskin tidak terlalu lebar. Masyarakat tidak bergaya hidup konsumtif, menolak hedonisme. Mereka siap bekerja keras hidup hemat dan sederhana, rukun dalam gotong royong, dan menjunjung etika budaya bangsa yang bernilai luhur.
Kita kembali melihat pendidikan sebagai sarana mempertahankan jati diri bangsa yang hilang esensinya.
Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Perlu diketahui banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan membuka yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “mendapatkan keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.
Prinsip nirlaba mestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan bahwa kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dewasa ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan diIndonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yangdapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas utama yangdapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi.
Oleh kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia, kedua jalan itu dilakukan secara bersamaan: mengundang swasta dan mengkomersilkan pendidikan. Dalam sepuluh tahun terakhir, peranan swasta semakin terasa kehadirannya di dalam kehidupan universitas: supermarket mulai berdiri di kampus (menggantikan koperasi mahasiswa), pusat kegiatan mahasiswa mulai disewakan, kehadiran pengusaha di majelis wali amanat, dan lain-lain.
Bersamaan dengan itu, biaya pendidikan juga terus meroket naik, bahkan seolah-olah sejumlah kampus favorit berlomba-lomba menaikkan biaya masuknya untuk menunjukkan gengsinya. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta.
Komersialisasi sudah di depan mata. Jika tidak segera dilawan, maka ratusan juta generasi muda Indonesia ke depan tidak akan punya kesempatan untuk menikmati pendidikan di bangku universitas. Oleh karena itu, karena kita tidak bisa berharap kepada rejim neoliberal untuk menghentikan komersialisasi ini, maka gerakan mahasiswalah yang mestinya menyusun barisan perlawanan. Mari berjuang untuk mewujudkan pendidikan sebagaimana digariskan preambule UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika tidak segera, maka.....
Dampaknya, indonesia akan miskin, rusak lingkungan alamnya, kekayaan alamnya dijarah kekuatan asing, dan rakyatnya terpuruk dalam kemelaratan, keterbelakangan, dekadensi moral, perpecahan antar suku agama dan golongan.
Hal ini kecedaraan serius yang dialamai negeri ini.
Kemudian,
Bagaimana sikap para intelek yang sadar dan jujur dalam perjuangannya ??
#Wait, MAYDAY
Adhar Malaka
Ketum KOSNAPI INDONESIA
Semarang
Komentar
Posting Komentar